
Busana Ritual Dayak Ngaju: Pakaian Khusus untuk Upacara Adat Tiwah – Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah dikenal sebagai salah satu kelompok adat yang memiliki tradisi spiritual mendalam, terutama dalam ritual Tiwah—upacara besar yang menjadi puncak penghormatan terakhir bagi leluhur. Dalam tradisi Kaharingan, Tiwah bukan sekadar prosesi pemindahan tulang belulang ke sandung, tetapi perjalanan sakral yang menghubungkan dunia manusia dengan Lewu Liau, alam arwah. Karena itu, setiap unsur dalam upacara—termasuk musik, tarian, hewan kurban, hingga busana—memiliki makna simbolik kuat.
Busana ritual yang dikenakan pada Tiwah bukanlah busana sehari-hari. Setiap potongan kain, motif, aksesori, dan warna memiliki pesan spiritual, status sosial, dan fungsi upacara. Busana Tiwah adalah representasi dari hubungan manusia Dayak dengan alam, leluhur, dan kekuatan kosmis. Melalui busana inilah identitas Dayak Ngaju dirayakan sekaligus diwariskan kepada generasi berikutnya.
Sejak dahulu, pembuatan busana ritual dilakukan secara mandiri dengan bahan-bahan alami yang tersedia di lingkungan sekitar seperti kulit kayu, serat alam, bulu burung enggang, manik-manik batu, hingga anyaman rotan. Proses pembuatannya bisa memakan waktu berbulan-bulan dan biasanya dilakukan oleh perempuan-perempuan terampil yang mewarisi teknik turun-temurun. Kehadiran busana ini mempercantik dan memperkuat suasana sakral selama Tiwah, memperlihatkan bagaimana seni dan spiritualitas saling bertautan dalam budaya Dayak Ngaju.
Jenis Busana Ritual dan Elemen Penting dalam Upacara Tiwah
Busana dalam upacara Tiwah terbagi menjadi beberapa kategori, tergantung peran dan posisi seseorang dalam upacara. Ada busana untuk pemuka adat, penari, keluarga yang melaksanakan Tiwah, hingga para penjaga ritual. Masing-masing memiliki ciri, motif, dan aksesori berbeda tetapi tetap berpijak pada simbolisme Kaharingan.
1. Baju Sangkarut: Busana dari Kulit Kayu yang Ikonis
Salah satu busana paling terkenal dari Dayak Ngaju adalah Baju Sangkarut, pakaian tradisional yang dibuat dari kulit pohon nyamu atau talik. Kulit kayu direndam, dipukul, lalu ditipiskan hingga lentur seperti kain. Proses ini membutuhkan keterampilan khusus agar serat kayu tetap kuat, tidak mudah robek, namun tetap nyaman dipakai.
Sangkarut biasanya dihiasi ukiran atau lukisan bermotif aso (naga), kalong (kelelawar), atau motif spiral yang merepresentasikan energi kosmis. Pada upacara Tiwah, Sangkarut dikenakan oleh para laki-laki yang terlibat dalam prosesi inti seperti penari atau penjaga ritual (barasih).
Warna alaminya—cokelat muda atau cokelat keemasan—menggambarkan hubungan erat manusia Dayak dengan tanah sebagai sumber kehidupan.
2. Sapei Sapaq dan Rok Serat Alam untuk Perempuan
Perempuan Dayak Ngaju sering mengenakan rok serat alam atau kain tenun bermotif Kaharingan, dipadukan dengan atasan berbahan kulit kayu halus atau kain tradisional. Warna yang digunakan cenderung cerah seperti merah, kuning, atau hitam, melambangkan keberanian, keagungan, dan keseimbangan.
Motif yang digunakan biasanya berupa:
- Burung enggang: simbol kesucian dan penghubung antara dunia manusia dan dunia dewa.
- Tanduk rusa: lambang keteguhan dan kekuatan.
- Pucuk rebung: pertumbuhan, harapan, dan keberlanjutan hidup.
Busana perempuan dilengkapi dengan selendang dan sabuk manik yang mempercantik tampilan sekaligus menjadi penanda status keluarga yang sedang melaksanakan Tiwah.
3. Aksesori Sakral: Dari Lawung hingga Kalung Manik
Aksesori bukan sekadar pelengkap, tetapi bagian inti yang memiliki kekuatan simbolik.
a. Lawung (Penutup Kepala)
Lawung terbuat dari daun purun, rotan, atau kain dengan hiasan bulu enggang. Bulu enggang menjadi simbol kemuliaan, karena burung enggang dianggap suci dan dekat dengan dunia roh.
b. Kalung Manik (Kalung Kabo)
Kalung ini dibuat dari manik-manik kuno yang diwariskan turun-temurun. Warnanya cerah—kuning, merah, biru—melambangkan energi kehidupan. Kalung Kabo dipercaya memberi perlindungan spiritual bagi pemakainya selama upacara.
c. Gelang Rotan dan Belatih
Gelang yang terbuat dari rotan atau logam digunakan sebagai simbol kekuatan dan penolak energi negatif. Gelang ini biasanya dikenakan oleh laki-laki yang memimpin tarian sakral, seperti Tari Manasai.
d. Ikat Pinggang dan Penutup Badan
Aksesori ini bukan hanya mempercantik, tetapi menandakan kesiapan mengikuti ritual. Motifnya seringkali berupa garis spiral dan figur mitologis.
4. Warna dalam Busana Tiwah dan Maknanya
Warna memiliki peran penting dalam estetika sekaligus spiritualitas Tiwah. Setiap warna menyampaikan pesan:
- Merah: kekuatan, keberanian, dan semangat ritual.
- Kuning: cahaya dan hubungan dengan dewa-dewa Kaharingan.
- Hitam: perlindungan dari energi buruk.
- Putih: kesucian, terutama dalam prosesi pemindahan tulang.
Kombinasi warna-warna tersebut menciptakan harmoni visual yang sangat khas dalam upacara Tiwah.
5. Busana Penari Manasai dan Para Penjaga Ritual
Tari Manasai adalah bagian penting dari upacara Tiwah. Para penari mengenakan busana yang lebih ringan, sering kali dengan bulu enggang pada bagian kepala dan bahu. Kain bermotif Kaharingan dililitkan pada pinggang, sementara manik-manik menghiasi dada dan lengan.
Para penjaga ritual, yang bertugas mengamankan area upacara dan mengawal prosesi yang sakral, mengenakan busana kulit kayu lengkap dengan perisai (talawang) serta topi bulu enggang. Penampilan mereka bertujuan menegaskan kewibawaan sekaligus perlindungan spiritual.
Pelestarian dan Transformasi Busana Ritual di Era Modern
Meskipun zaman telah berubah dan masyarakat Dayak Ngaju banyak berinteraksi dengan dunia modern, busana Tiwah tetap dipertahankan sebagai warisan yang tidak tergantikan. Banyak komunitas adat bekerja keras untuk merevitalisasi teknik pembuatan kulit kayu, tenun, dan manik-manik kuno.
Kini, beberapa desainer lokal juga mulai mengadaptasi motif Dayak ke dalam busana kontemporer tanpa menghilangkan nilai sakral aslinya. Namun penggunaan busana ritual Tiwah tetap dikontrol ketat agar tidak disalahgunakan di luar konteks adat.
Lebih jauh, museum dan pusat budaya di Palangka Raya serta berbagai kota di Kalimantan memamerkan busana Tiwah sebagai simbol identitas Dayak Ngaju, membantu generasi muda memahami kekayaan budaya nenek moyang mereka.
Dalam acara kesenian nasional maupun internasional, busana Tiwah sering ditampilkan sebagai karya budaya tinggi yang menunjukkan estetika etnik yang kuat sekaligus melestarikan narasi leluhur Dayak Ngaju.
Kesimpulan
Busana ritual Dayak Ngaju dalam upacara Tiwah bukan sekadar pakaian tradisional, melainkan warisan spiritual dan estetika yang sangat kaya. Tiap bahan, motif, aksesori, dan warna menyampaikan pesan mendalam tentang hubungan manusia Dayak dengan alam, leluhur, dan kosmos. Baju Sangkarut dari kulit kayu, manik-manik kuno, hingga bulu enggang adalah representasi identitas yang tak ternilai.
Melalui busana inilah masyarakat Dayak Ngaju menjaga kesinambungan tradisi, menyampaikan rasa hormat kepada leluhur, serta memperlihatkan kepada dunia betapa megahnya budaya mereka. Tiwah bukan hanya ritual, tetapi perayaan identitas—dan busana ritual adalah salah satu elemen terindah yang membuatnya begitu bermakna.