Betang dan Pakaian Adat: Busana Tradisional untuk Upacara Adat Tiwah

Betang dan Pakaian Adat: Busana Tradisional untuk Upacara Adat Tiwah – Rumah Betang dan pakaian adat Dayak Ngaju selalu menjadi simbol kuat budaya Kalimantan Tengah yang penuh kekayaan makna. Dalam setiap upacara adat, terutama Tiwah, keduanya bukan sekadar elemen dekoratif atau penanda identitas etnis, tetapi representasi filosofi hidup masyarakat Dayak. Upacara Tiwah sendiri merupakan prosesi sakral pengantaran arwah leluhur menuju Lewu Liau, tempat peristirahatan terakhir menurut kepercayaan Kaharingan. Dalam prosesi inilah rumah Betang dan pakaian adat menjadi bagian penting yang tak terpisahkan, baik sebagai wadah aktivitas ritual maupun sebagai simbol penghormatan terhadap leluhur.


Betang: Lebih dari Sekadar Rumah Panjang

Fungsi Sosial dan Filosofi Rumah Betang

Rumah Betang merupakan rumah panjang tradisional yang dihuni oleh banyak keluarga dalam satu komunitas Dayak. Panjangnya bisa mencapai puluhan meter, bahkan ada yang lebih dari 100 meter. Bentuknya yang memanjang menggambarkan nilai kebersamaan, gotong royong, dan kehidupan komunal yang menjadi fondasi budaya Dayak.

Betang selalu dibangun di atas tiang-tiang tinggi, mencapai 3–5 meter dari permukaan tanah. Ketinggian ini memiliki dua tujuan: melindungi penghuni dari banjir saat musim hujan dan menjaga keselamatan dari binatang buas. Desain panggung ini mencerminkan adaptasi masyarakat Dayak terhadap lingkungan hutan tropis yang dinamis.

Secara struktural, Betang memiliki beberapa bagian penting:

  • Tampa’, yaitu tangga utama untuk masuk
  • Aruhung, ruang panjang untuk berkegiatan bersama
  • Pambelum, kamar-kamar keluarga
  • Ujung Betang, tempat upacara dan penyimpanan benda sakral

Dengan ruang yang lapang, rumah Betang menjadi pusat kehidupan sosial: musyawarah, pesta, ritual, hingga penyelesaian sengketa dilakukan di sini. Dalam konteks Tiwah, Betang menjadi pusat kegiatan persiapan dan juga lokasi pelaksanaan sebagian tahapan upacara.

Betang dalam Upacara Tiwah

Upacara Tiwah tidak hanya ritual keagamaan, tetapi juga pesta adat besar yang berlangsung berhari-hari. Betang memainkan peran penting sebagai ruang persiapan dan tempat berkumpulnya keluarga besar.

Para tetua adat, pemimpin ritual (basir), serta keluarga yang menyelenggarakan Tiwah akan memanfaatkan Betang untuk meramu persembahan, menyimpan sesajen, menabuh gong, serta berdiskusi mengenai prosesi ritual. Di Betang pula para tamu dari kampung lain disambut, mengingat Tiwah merupakan upacara yang mengundang banyak masyarakat sekitar.

Betang bukan hanya bangunan fisik, tetapi simbol kesinambungan budaya: tempat leluhur diajarkan, tradisi diwariskan, dan generasi muda mengenal identitas mereka.


Pakaian Adat Dayak untuk Tiwah: Simbol Sakral dan Identitas

Jenis Pakaian Adat dan Makna Filosofinya

Dalam upacara Tiwah, pakaian adat yang dikenakan memiliki makna mendalam. Pakaian tersebut biasanya terbuat dari bahan tradisional seperti kulit kayu (kulit nyamu), manik-manik berwarna cerah, bulu burung enggang, dan kain tenun khas Dayak.

Beberapa elemen pakaian utama antara lain:

1. Baju King Baba (laki-laki)

Baju ini biasanya terbuat dari kulit kayu yang dipukul dan direndam hingga lembut. Motif-motif ukiran Dayak menghiasi bagian depan dan belakang, menggambarkan perlindungan dari roh jahat. King Baba sering dipadukan dengan:

  • Kalung manik berlapis
  • Ikat kepala dengan bulu enggang
  • Celana khas Dayak yang bermotif hiasan alam

2. Baju King Bibinge (perempuan)

King Bibinge memiliki dekorasi manik yang lebih halus, menggambarkan keanggunan dan kekuatan perempuan Dayak. Warna-warna seperti merah, kuning, dan hitam mendominasi karena merupakan warna sakral.

Perempuan biasanya mengenakan:

  • Kalung salur manik panjang
  • Gelang logam dan manik
  • Hiasan kepala berumbai

3. Saong atau Sumping Kepala

Dipakai oleh laki-laki maupun perempuan, saong dihiasi bulu enggang dan motif etnik. Enggang dianggap sebagai simbol kebijaksanaan dan keluhuran moral.

4. Atribut Tambahan

  • Mandau, sebagai simbol keberanian (jarang dipakai kecuali oleh penari atau pemuka adat)
  • Selendang atau kain panjang, dipakai saat menari dalam ritual penyambutan
  • Perhiasan manik berlapis, tanda status sosial dan penghormatan bagi leluhur

Setiap pakaian mengandung simbol yang berkaitan dengan kosmologi Dayak: dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah.

Pakaian Adat dalam Prosesi Tiwah

Upacara Tiwah memiliki banyak tahapan: menyambut tamu, penyucian tulang, menari, mengarak persembahan, hingga memindahkan tulang leluhur ke sandung (rumah kecil tempat penyimpanan tulang). Pada setiap tahap, pakaian adat memegang fungsi penting.

  • Basir memakai pakaian khusus yang dihiasi manik dan bulu, sebagai tanda bahwa ia adalah penghubung antara dunia manusia dan alam roh.
  • Keluarga penyelenggara Tiwah mengenakan atribut lengkap sebagai bentuk penghormatan.
  • Penari memakai pakaian yang lebih dinamis, menonjolkan bulu enggang, gelang, dan suara lonceng kecil untuk mengiringi tarian ritual.
  • Peserta lain memakai pakaian adat sederhana, tetapi tetap mencerminkan warna khas Dayak.

Penggunaan pakaian adat bukan hanya estetika, melainkan wujud identitas dan penghormatan spiritual terhadap leluhur. Tanpa pakaian adat, Tiwah dianggap tidak lengkap.


Betang dan Pakaian Adat sebagai Penanda Keberlanjutan Budaya

Masyarakat Dayak Ngaju menjadikan Betang dan pakaian adat sebagai jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Banyak generasi muda mulai mempelajari cara membuat baju kulit kayu, menyusun manik, hingga mengenal makna motif tradisional. Bahkan, sejumlah komunitas kini berupaya menghidupkan kembali fungsi Betang sebagai pusat pendidikan budaya, bukan sekadar objek wisata.

Di sisi lain, dokumentasi dan festival budaya semakin membantu menyebarkan pemahaman mengenai pentingnya Tiwah dan elemen budayanya. Pakaian adat Dayak mulai diapresiasi tidak hanya secara lokal, tetapi juga oleh wisatawan dan peneliti dari berbagai negara.

Betang tetap berdiri kokoh sebagai simbol kerukunan, kebersamaan, dan kekuatan komunitas, sementara pakaian adat menjadi wujud ekspresi seni yang diwariskan turun-temurun.


Kesimpulan

Betang dan pakaian adat Dayak bukan hanya warisan budaya yang bersifat estetis, tetapi merupakan bagian mendalam dari sistem kepercayaan, kehidupan sosial, dan identitas masyarakat Dayak Ngaju. Dalam upacara Tiwah, keduanya tampil sebagai simbol penghormatan kepada leluhur, pengikat solidaritas keluarga, serta pengingat bahwa budaya Dayak adalah warisan yang hidup dan terus berkembang.

Rumah Betang menyediakan ruang bagi komunitas untuk bersatu, bekerja sama, dan melestarikan tradisi. Sementara itu, pakaian adat mencerminkan filosofi kosmologis yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan memahami kedua unsur ini, kita dapat melihat betapa kayanya budaya Dayak dan pentingnya menjaga kelestariannya agar tetap hidup di tengah modernisasi.

Apabila Anda ingin dibuatkan artikel lain dengan tema adat, sejarah, wisata, teknologi, atau topik khusus lainnya, cukup beri judulnya — saya siap buatkan!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top